Senin, 11 April 2016

USHAIRIM BANI ABDUL ASYHAL Selama Hidupnya Belum Pernah Shalat

Diriwayatkan dari Ibnu Sufyan maula Ibnu Abi Ahmad bahwa Abu Hurairah meminta kepada para sahabat dan berkata, "Ceritakan kepadaku mengenai kisah seseorang yang masuk Surga padahal belum pernah shalat sekali pun sepanjang hidupnya!" Ternyata para sahabat tidak ada yang mengetahui.

Akan tetapi para sahabat balik bertanya, "Siapakah dia?" Abu Hurairah menjawab, "Ushairim Bani Abdul Asyhal ‘Amr bin Tsabit bin Waqsy."

Al-Hushain berkata, "Aku bertanya kepada Mahmud bagaimana kehidupan Ushairim sebelumnya?" Mahmud menjawab, "Sebelumnya dia enggan memeluk Islam sebagaimana kaumnya, namun kemudian ia masuk Islam.

Ketika terjadi peperangan Uhud yang Rasulullah juga berada dalam peperangan tersebut, ia ingin memeluk Islam dan ia pun lantas masuk Islam. Setelah itu, ia mengambil pedang dan berangkat menuju medan perang. Dia menyerang dan memberikan perlawanan sehingga terluka di beberapa bagian tubuhnya.

Tatkala orang-orang dari Bani Abdul Asyhal mencari para korban dalam peperangan ini, mereka mendapati Ushairim. Mereka bertanya, 'Ini jasad Ushairim, apa yang menyebabkan dia datang dalam peperangan ini? Bukankah dia tidak berkenan ikut serta dalam peperangan ini?'

Mereka mempertanyakan status Ushairim sehingga berada dalam pertempuran ini, 'Wahai Amr, apa yang menyebabkan kamu berada di sini. Karena setia kepada kaummu ataukah simpati kepada Islam?'

Amr menjawab, 'Karena cintaku terhadap Islam, aku telah beriman kepada Allah dan Rasulullah, kemudian aku angkat senjataku dan aku berperang, sehingga keadaanku seperti ini.' Ushairim meninggal dunia di tengah-tengah kaumnya, kemudian mereka memberitahukan kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda, 'Sesungguhnya dia termasuk penghuni Surga'. 
 
sumber : Buku 99 Kisah Orang-Orang Shalih, Penerbit, Darul Haq Jakarta. http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihatkisah&id=368
Secara umum tentunya sebagai seorang manusia lebih suka menyalahkan orang lain, ketimbang memeriksa diri kita sendiri. Ya, percaya atau tidak. Lihat misalnya di jalanan kita, tempat orang-orang berlalu-lintas dari satu tempat ke tempat yang lain. Masyarakat kita ini, yaitu masyarakat Indonesia, sangat unik sekali suasana jalanannya. Banyak orang yang terlihat buru-buru dalam berkendara. Banyak yang suka menyerobot, dan jarang yang mau mengalah. Masing-masing merasa paling berhak dengan jalannya. Dan konon katanya, perilaku masyarakat itu terlihat dari perilakunya di jalanannya. - See more at: http://belajarislam.com/2016/03/jadilah-muslim-kesatria-jangan-pecundang/#sthash.inM2Uvg7.dpuf
5

Jadilah Muslim Kesatria Jangan Pecundang

Muslim pemenang_dan_pecundang
Secara umum tentunya sebagai seorang manusia lebih suka menyalahkan orang lain, ketimbang memeriksa diri kita sendiri. Ya, percaya atau tidak. Lihat misalnya di jalanan kita, tempat orang-orang berlalu-lintas dari satu tempat ke tempat yang lain. Masyarakat kita ini, yaitu masyarakat Indonesia, sangat unik sekali suasana jalanannya. Banyak orang yang terlihat buru-buru dalam berkendara. Banyak yang suka menyerobot, dan jarang yang mau mengalah. Masing-masing merasa paling berhak dengan jalannya. Dan konon katanya, perilaku masyarakat itu terlihat dari perilakunya di jalanannya.
Dan percaya atau tidak, ketika membaca paragraf sebelum inipun banyak diantara kita yang membayangkan bahwa kesalahan itu memang ada, pada orang lain. Jarang diantara kita yang merasa bersalah, atau bahkan malu dengan perilakunya sendiri.
Jalanan kita adalah tempat yang menyeramkan, karena perilaku-perilaku ini. Para pengendara motor merasa tidak nyaman karena keberadaan mobil, bus atau becak sekalipun, karena terganggu lajunya tersebab mereka itu, katanya. Pengendara mobil pun demikian, sering merasa was-was dengan motor, sepeda dan lainnya karena seringkali memotong lajunya. Dan lain sebagainya. Mungkin perlu juga kita sebutkan banyak terjadi kecekalaan lalu lintas yang menyebabkan saling bertengkar (bukannya saling menolong), karena masing-masing merasa benar sendiri. Masing-masing merasa kesalahan bukan pada dirinya.
Mari kita perhatikan mengenai persoalan ini : menyalahkan orang lain. Perilaku ini perlu kita ubah. Karena ia tidak menyelesaikan persoalan. Mungkin bisa jadi perasaan kita merasa lebih longgar karena persoalan telah dilimpahkan kepada orang lain. Tetapi bukankah, persoalan itu sebenarnya belum selesai?
Menyalahkan, membuat kita enggan meminta maaf, meskipun sebenarnya kitalah yang bersalah. Menyalahkan, membuat kita sulit mencapai perbaikan dan kemajuan, karena persoalan tidak terselesaikan. Dan orang tidak benar-benar memperhatikan cara penyelesaian masalah itu. Namun hanya ingin “cuci tangan” dari kesalahan.
Kita bisa menjumpai fenomena pendidikan pada anak dengan pelajaran “menyalahkan”. Yaitu misalnya sang bunda berkata kepada putranya ketika ia jatuh dan menangis karena tersandung batu : “Aduh nak, tenang ya nak, tidak usah menangis. Ini batunya yang nakal bunda pukul. Nih.. nih…”. Padahal apa salah batu? Anak diajarkan untuk menyalahkan orang lain. Maka tidak perlu heran sang anak akan belajar hal yang sama. Ketika nilainya buruk dia akan mengatakan “Bapak/Ibu guru ngajarnya tidak enak Bunda.” atau kalimat semisalnya.
- See more at: http://belajarislam.com/2016/03/jadilah-muslim-kesatria-jangan-pecundang/#sthash.inM2Uvg7.dpuf
5

Jadilah Muslim Kesatria Jangan Pecundang

Muslim pemenang_dan_pecundang
Secara umum tentunya sebagai seorang manusia lebih suka menyalahkan orang lain, ketimbang memeriksa diri kita sendiri. Ya, percaya atau tidak. Lihat misalnya di jalanan kita, tempat orang-orang berlalu-lintas dari satu tempat ke tempat yang lain. Masyarakat kita ini, yaitu masyarakat Indonesia, sangat unik sekali suasana jalanannya. Banyak orang yang terlihat buru-buru dalam berkendara. Banyak yang suka menyerobot, dan jarang yang mau mengalah. Masing-masing merasa paling berhak dengan jalannya. Dan konon katanya, perilaku masyarakat itu terlihat dari perilakunya di jalanannya.
Dan percaya atau tidak, ketika membaca paragraf sebelum inipun banyak diantara kita yang membayangkan bahwa kesalahan itu memang ada, pada orang lain. Jarang diantara kita yang merasa bersalah, atau bahkan malu dengan perilakunya sendiri.
Jalanan kita adalah tempat yang menyeramkan, karena perilaku-perilaku ini. Para pengendara motor merasa tidak nyaman karena keberadaan mobil, bus atau becak sekalipun, karena terganggu lajunya tersebab mereka itu, katanya. Pengendara mobil pun demikian, sering merasa was-was dengan motor, sepeda dan lainnya karena seringkali memotong lajunya. Dan lain sebagainya. Mungkin perlu juga kita sebutkan banyak terjadi kecekalaan lalu lintas yang menyebabkan saling bertengkar (bukannya saling menolong), karena masing-masing merasa benar sendiri. Masing-masing merasa kesalahan bukan pada dirinya.
Mari kita perhatikan mengenai persoalan ini : menyalahkan orang lain. Perilaku ini perlu kita ubah. Karena ia tidak menyelesaikan persoalan. Mungkin bisa jadi perasaan kita merasa lebih longgar karena persoalan telah dilimpahkan kepada orang lain. Tetapi bukankah, persoalan itu sebenarnya belum selesai?
Menyalahkan, membuat kita enggan meminta maaf, meskipun sebenarnya kitalah yang bersalah. Menyalahkan, membuat kita sulit mencapai perbaikan dan kemajuan, karena persoalan tidak terselesaikan. Dan orang tidak benar-benar memperhatikan cara penyelesaian masalah itu. Namun hanya ingin “cuci tangan” dari kesalahan.
Kita bisa menjumpai fenomena pendidikan pada anak dengan pelajaran “menyalahkan”. Yaitu misalnya sang bunda berkata kepada putranya ketika ia jatuh dan menangis karena tersandung batu : “Aduh nak, tenang ya nak, tidak usah menangis. Ini batunya yang nakal bunda pukul. Nih.. nih…”. Padahal apa salah batu? Anak diajarkan untuk menyalahkan orang lain. Maka tidak perlu heran sang anak akan belajar hal yang sama. Ketika nilainya buruk dia akan mengatakan “Bapak/Ibu guru ngajarnya tidak enak Bunda.” atau kalimat semisalnya.
- See more at: http://belajarislam.com/2016/03/jadilah-muslim-kesatria-jangan-pecundang/#sthash.inM2Uvg7.dpuf
5

Jadilah Muslim Kesatria Jangan Pecundang

Muslim pemenang_dan_pecundang
Secara umum tentunya sebagai seorang manusia lebih suka menyalahkan orang lain, ketimbang memeriksa diri kita sendiri. Ya, percaya atau tidak. Lihat misalnya di jalanan kita, tempat orang-orang berlalu-lintas dari satu tempat ke tempat yang lain. Masyarakat kita ini, yaitu masyarakat Indonesia, sangat unik sekali suasana jalanannya. Banyak orang yang terlihat buru-buru dalam berkendara. Banyak yang suka menyerobot, dan jarang yang mau mengalah. Masing-masing merasa paling berhak dengan jalannya. Dan konon katanya, perilaku masyarakat itu terlihat dari perilakunya di jalanannya.
Dan percaya atau tidak, ketika membaca paragraf sebelum inipun banyak diantara kita yang membayangkan bahwa kesalahan itu memang ada, pada orang lain. Jarang diantara kita yang merasa bersalah, atau bahkan malu dengan perilakunya sendiri.
Jalanan kita adalah tempat yang menyeramkan, karena perilaku-perilaku ini. Para pengendara motor merasa tidak nyaman karena keberadaan mobil, bus atau becak sekalipun, karena terganggu lajunya tersebab mereka itu, katanya. Pengendara mobil pun demikian, sering merasa was-was dengan motor, sepeda dan lainnya karena seringkali memotong lajunya. Dan lain sebagainya. Mungkin perlu juga kita sebutkan banyak terjadi kecekalaan lalu lintas yang menyebabkan saling bertengkar (bukannya saling menolong), karena masing-masing merasa benar sendiri. Masing-masing merasa kesalahan bukan pada dirinya.
Mari kita perhatikan mengenai persoalan ini : menyalahkan orang lain. Perilaku ini perlu kita ubah. Karena ia tidak menyelesaikan persoalan. Mungkin bisa jadi perasaan kita merasa lebih longgar karena persoalan telah dilimpahkan kepada orang lain. Tetapi bukankah, persoalan itu sebenarnya belum selesai?
Menyalahkan, membuat kita enggan meminta maaf, meskipun sebenarnya kitalah yang bersalah. Menyalahkan, membuat kita sulit mencapai perbaikan dan kemajuan, karena persoalan tidak terselesaikan. Dan orang tidak benar-benar memperhatikan cara penyelesaian masalah itu. Namun hanya ingin “cuci tangan” dari kesalahan.
Kita bisa menjumpai fenomena pendidikan pada anak dengan pelajaran “menyalahkan”. Yaitu misalnya sang bunda berkata kepada putranya ketika ia jatuh dan menangis karena tersandung batu : “Aduh nak, tenang ya nak, tidak usah menangis. Ini batunya yang nakal bunda pukul. Nih.. nih…”. Padahal apa salah batu? Anak diajarkan untuk menyalahkan orang lain. Maka tidak perlu heran sang anak akan belajar hal yang sama. Ketika nilainya buruk dia akan mengatakan “Bapak/Ibu guru ngajarnya tidak enak Bunda.” atau kalimat semisalnya.
- See more at: http://belajarislam.com/2016/03/jadilah-muslim-kesatria-jangan-pecundang/#sthash.inM2Uvg7.dpuf
Secara umum tentunya sebagai seorang manusia lebih suka menyalahkan orang lain, ketimbang memeriksa diri kita sendiri. Ya, percaya atau tidak. Lihat misalnya di jalanan kita, tempat orang-orang berlalu-lintas dari satu tempat ke tempat yang lain. Masyarakat kita ini, yaitu masyarakat Indonesia, sangat unik sekali suasana jalanannya. Banyak orang yang terlihat buru-buru dalam berkendara. Banyak yang suka menyerobot, dan jarang yang mau mengalah. Masing-masing merasa paling berhak dengan jalannya. Dan konon katanya, perilaku masyarakat itu terlihat dari perilakunya di jalanannya.
Dan percaya atau tidak, ketika membaca paragraf sebelum inipun banyak diantara kita yang membayangkan bahwa kesalahan itu memang ada, pada orang lain. Jarang diantara kita yang merasa bersalah, atau bahkan malu dengan perilakunya sendiri.
Jalanan kita adalah tempat yang menyeramkan, karena perilaku-perilaku ini. Para pengendara motor merasa tidak nyaman karena keberadaan mobil, bus atau becak sekalipun, karena terganggu lajunya tersebab mereka itu, katanya. Pengendara mobil pun demikian, sering merasa was-was dengan motor, sepeda dan lainnya karena seringkali memotong lajunya. Dan lain sebagainya. Mungkin perlu juga kita sebutkan banyak terjadi kecekalaan lalu lintas yang menyebabkan saling bertengkar (bukannya saling menolong), karena masing-masing merasa benar sendiri. Masing-masing merasa kesalahan bukan pada dirinya.
Mari kita perhatikan mengenai persoalan ini : menyalahkan orang lain. Perilaku ini perlu kita ubah. Karena ia tidak menyelesaikan persoalan. Mungkin bisa jadi perasaan kita merasa lebih longgar karena persoalan telah dilimpahkan kepada orang lain. Tetapi bukankah, persoalan itu sebenarnya belum selesai?
Menyalahkan, membuat kita enggan meminta maaf, meskipun sebenarnya kitalah yang bersalah. Menyalahkan, membuat kita sulit mencapai perbaikan dan kemajuan, karena persoalan tidak terselesaikan. Dan orang tidak benar-benar memperhatikan cara penyelesaian masalah itu. Namun hanya ingin “cuci tangan” dari kesalahan.
Kita bisa menjumpai fenomena pendidikan pada anak dengan pelajaran “menyalahkan”. Yaitu misalnya sang bunda berkata kepada putranya ketika ia jatuh dan menangis karena tersandung batu : “Aduh nak, tenang ya nak, tidak usah menangis. Ini batunya yang nakal bunda pukul. Nih.. nih…”. Padahal apa salah batu? Anak diajarkan untuk menyalahkan orang lain. Maka tidak perlu heran sang anak akan belajar hal yang sama. Ketika nilainya buruk dia akan mengatakan “Bapak/Ibu guru ngajarnya tidak enak Bunda.” atau kalimat semisalnya.
Dalam kehidupan Ayah Bunda pun demikian, jika mental menyalahkan sudah menjadi kebiasaan, maka sering terjadi Ayah menyalahkan Bunda ketika rumah berantakan, sementara itu Ayah merasa dirinya sudah bekerja keras mencari nafkah. Padahal bisa jadi karena Ayah yang kurang membantu. Bukankah Rasulullah mencontohkan untuk membantu urusan rumah tangga, misalnya.
Dalam Al-Qur’an kita pun menjumpai peristiwa saling menyalahkan :

وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا نَصِيبًا مِنَ النَّارِ

“Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebahagian azab api neraka?” (QS 40:47)

قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُلٌّ فِيهَا إِنَّ الَّهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ

“Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab: “Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka karena sesungguhnya Allah telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba- (Nya)”. (QS 40:48 )
Penghuni neraka saling berbantah-bantahan. Orang-orang yang dulu sekedar menjadi pengikut menyalahkan orang-orang yang dulu mengajaknya melakukan pembangkangan. Dan tentu saja orang yang mengajak itu tidak mau disalahkan. Dan keduanya adalah sama.
Bagaimana dengan kita? Jangan-jangan sama saja antara kita dan orang yang kita salahkan. Atau bisa jadi malah sebenarnya kita yang salah, namun menyerahkan kepada orang lain. Dan kemungkinan ketiga, jika ternyata kita tidak salah dan orang lain yang salah, lalu kita menyalahkan orang itu, selesaikah permasalahan?
Dalam jejak kisah para sahabat kita menjumpai teladan yang indah. Sebagaimana dikisahkan [1] Salman Al-Farisi mengajukan diri menjadi jaminan bagi seorang pemuda yang menjadi pelaku pembunuhan terhadap ayah dari dua kakak beradik. Si pemuda itu karena kemarahan sesaat membunuh ayah dari kedua kakak beradik disebabkan karena sang ayah membunuh kuda tunggangan pemuda itu, karena kuda itu memakan tanaman dikebun ayah dan keluarga kakak beradik itu. Maka kedua kakak beradik itu meminta kepada ‘Amirul Mu’minin Umar ibn Khaththab untuk menjatuhkan hukuman qishosh. Nyawa dibayar dengan nyawa.
Namun karena si pemuda ingin menyelesaikan urusan amanah dikampungnya, maka si pemuda meminta tenggat waktu 3 hari. Akan tetapi tidak ada penjamin waktu itu. Si pemuda tidak memiliki kenalan seorang pun untuk menjamin dirinya, untuk menggantikan dirinya, jikalau dia tidak datang pada hari ketiga. Dan hampir saja Salman Al-Farisi benar-benar menjadi tebusan, untuk menggantikan si pemuda itu.
Salman Al-Farisi kala itu ditanya oleh Umar ibn Khaththab, mengapa ia mau menjamin si pemuda itu. Salman pun mengatakan : “Sungguh jangan sampai orang-orang berbicara, bahwa tidak ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tidak ada lagi rasa saling percaya di antara orang-orang Muslim.”
Dan akhirnya kedua kakak beradik itu pun memutuskan untuk memamaafkannya. Saat ditanya kenapa keduanya memaafkan pemuda itu, kakak beradik itu berkata : “Agar jangan sampai ada yang mengatakan, bahwa dikalangan kaum Muslimin tidak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang.”
- See more at: http://belajarislam.com/2016/03/jadilah-muslim-kesatria-jangan-pecundang/#sthash.inM2Uvg7.dpuf
Secara umum tentunya sebagai seorang manusia lebih suka menyalahkan orang lain, ketimbang memeriksa diri kita sendiri. Ya, percaya atau tidak. Lihat misalnya di jalanan kita, tempat orang-orang berlalu-lintas dari satu tempat ke tempat yang lain. Masyarakat kita ini, yaitu masyarakat Indonesia, sangat unik sekali suasana jalanannya. Banyak orang yang terlihat buru-buru dalam berkendara. Banyak yang suka menyerobot, dan jarang yang mau mengalah. Masing-masing merasa paling berhak dengan jalannya. Dan konon katanya, perilaku masyarakat itu terlihat dari perilakunya di jalanannya.
Dan percaya atau tidak, ketika membaca paragraf sebelum inipun banyak diantara kita yang membayangkan bahwa kesalahan itu memang ada, pada orang lain. Jarang diantara kita yang merasa bersalah, atau bahkan malu dengan perilakunya sendiri.
Jalanan kita adalah tempat yang menyeramkan, karena perilaku-perilaku ini. Para pengendara motor merasa tidak nyaman karena keberadaan mobil, bus atau becak sekalipun, karena terganggu lajunya tersebab mereka itu, katanya. Pengendara mobil pun demikian, sering merasa was-was dengan motor, sepeda dan lainnya karena seringkali memotong lajunya. Dan lain sebagainya. Mungkin perlu juga kita sebutkan banyak terjadi kecekalaan lalu lintas yang menyebabkan saling bertengkar (bukannya saling menolong), karena masing-masing merasa benar sendiri. Masing-masing merasa kesalahan bukan pada dirinya.
Mari kita perhatikan mengenai persoalan ini : menyalahkan orang lain. Perilaku ini perlu kita ubah. Karena ia tidak menyelesaikan persoalan. Mungkin bisa jadi perasaan kita merasa lebih longgar karena persoalan telah dilimpahkan kepada orang lain. Tetapi bukankah, persoalan itu sebenarnya belum selesai?
Menyalahkan, membuat kita enggan meminta maaf, meskipun sebenarnya kitalah yang bersalah. Menyalahkan, membuat kita sulit mencapai perbaikan dan kemajuan, karena persoalan tidak terselesaikan. Dan orang tidak benar-benar memperhatikan cara penyelesaian masalah itu. Namun hanya ingin “cuci tangan” dari kesalahan.
Kita bisa menjumpai fenomena pendidikan pada anak dengan pelajaran “menyalahkan”. Yaitu misalnya sang bunda berkata kepada putranya ketika ia jatuh dan menangis karena tersandung batu : “Aduh nak, tenang ya nak, tidak usah menangis. Ini batunya yang nakal bunda pukul. Nih.. nih…”. Padahal apa salah batu? Anak diajarkan untuk menyalahkan orang lain. Maka tidak perlu heran sang anak akan belajar hal yang sama. Ketika nilainya buruk dia akan mengatakan “Bapak/Ibu guru ngajarnya tidak enak Bunda.” atau kalimat semisalnya.
Dalam kehidupan Ayah Bunda pun demikian, jika mental menyalahkan sudah menjadi kebiasaan, maka sering terjadi Ayah menyalahkan Bunda ketika rumah berantakan, sementara itu Ayah merasa dirinya sudah bekerja keras mencari nafkah. Padahal bisa jadi karena Ayah yang kurang membantu. Bukankah Rasulullah mencontohkan untuk membantu urusan rumah tangga, misalnya.
Dalam Al-Qur’an kita pun menjumpai peristiwa saling menyalahkan :

وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا نَصِيبًا مِنَ النَّارِ

“Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebahagian azab api neraka?” (QS 40:47)

قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُلٌّ فِيهَا إِنَّ الَّهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ

“Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab: “Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka karena sesungguhnya Allah telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba- (Nya)”. (QS 40:48 )
Penghuni neraka saling berbantah-bantahan. Orang-orang yang dulu sekedar menjadi pengikut menyalahkan orang-orang yang dulu mengajaknya melakukan pembangkangan. Dan tentu saja orang yang mengajak itu tidak mau disalahkan. Dan keduanya adalah sama.
Bagaimana dengan kita? Jangan-jangan sama saja antara kita dan orang yang kita salahkan. Atau bisa jadi malah sebenarnya kita yang salah, namun menyerahkan kepada orang lain. Dan kemungkinan ketiga, jika ternyata kita tidak salah dan orang lain yang salah, lalu kita menyalahkan orang itu, selesaikah permasalahan?
Dalam jejak kisah para sahabat kita menjumpai teladan yang indah. Sebagaimana dikisahkan [1] Salman Al-Farisi mengajukan diri menjadi jaminan bagi seorang pemuda yang menjadi pelaku pembunuhan terhadap ayah dari dua kakak beradik. Si pemuda itu karena kemarahan sesaat membunuh ayah dari kedua kakak beradik disebabkan karena sang ayah membunuh kuda tunggangan pemuda itu, karena kuda itu memakan tanaman dikebun ayah dan keluarga kakak beradik itu. Maka kedua kakak beradik itu meminta kepada ‘Amirul Mu’minin Umar ibn Khaththab untuk menjatuhkan hukuman qishosh. Nyawa dibayar dengan nyawa.
Namun karena si pemuda ingin menyelesaikan urusan amanah dikampungnya, maka si pemuda meminta tenggat waktu 3 hari. Akan tetapi tidak ada penjamin waktu itu. Si pemuda tidak memiliki kenalan seorang pun untuk menjamin dirinya, untuk menggantikan dirinya, jikalau dia tidak datang pada hari ketiga. Dan hampir saja Salman Al-Farisi benar-benar menjadi tebusan, untuk menggantikan si pemuda itu.
Salman Al-Farisi kala itu ditanya oleh Umar ibn Khaththab, mengapa ia mau menjamin si pemuda itu. Salman pun mengatakan : “Sungguh jangan sampai orang-orang berbicara, bahwa tidak ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tidak ada lagi rasa saling percaya di antara orang-orang Muslim.”
Dan akhirnya kedua kakak beradik itu pun memutuskan untuk memamaafkannya. Saat ditanya kenapa keduanya memaafkan pemuda itu, kakak beradik itu berkata : “Agar jangan sampai ada yang mengatakan, bahwa dikalangan kaum Muslimin tidak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang.”
- See more at: http://belajarislam.com/2016/03/jadilah-muslim-kesatria-jangan-pecundang/#sthash.inM2Uvg7.dpuf

Senin, 25 November 2013

Membantu Orang Lain Adalah Obat Stres

Tidak ada agama yang seperti Islam, dia (Islam) menaruh perhatian yang besar terhadap masalah membantu orang lain dan pemenuhan kebutuhan (hajat) mereka, sampai-sampai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menganggap perbuatan membantu orang lain sebagai bagian dari iman.
Nabi Berwasiat Agar Ummatnya Membantu Sesama Dan Memenuhi Kebutuhan Mereka
Banyak sekali hadits yang datang dari Nabiyurrahmah (Nabi yang penuh kasih sayang) shallallahu 'alaihi wasallam yang menegaskan pentingnya kerjasama, membantu orang lain dan mengulurkan bantuan untuk mereka. Sampai-sampai Nabi yang mulia shallallahu 'alaihi wasallam menganggap bahwa keimanan seseorang tidak akan sempurna sebelum dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri!!
Dan Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menganggap orang yang tidur (dalam keadaan kenyang) sementara dia tahu tetangganya dalam keadaan kelaparan, sebagai orang yang imannya kurang. Dan barang siapa yang kedatangan tamu namun dia tidak menghormatinya, maka dia juga imannya kurang.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Lelucon Yang Merenggut Nyawa

Sejak dia melepas putranya merantau di negara lain untuk studi, dia tidak henti-hentinya memikirkan putranya dan membicarakannya bersama tetangga-tetangganya. Dialah putra satu-satunya sekaligus buah hatinya. Betapa dia sangat merindukannya.

Kamis, 13 Oktober 2011

MENGAPA AKU HARUS IKLAS

IBLIS berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang IKHLAS di antara mereka" (Q.S. 15 : 39-40).


Mengapa aku harus ikhlas?

Mengapa aku harus ikhlas.... agar iblis jungkir balik, kalah telak tanpa balas
Mengapa aku harus ikhlas.... agar aku mendapatkan berkah dalam setiap butir beras
Mengapa aku harus ikhlas.... agar sinergiku kian selaras
Mengapa aku harus ikhlas.... agar magnet diriku tidak terlepas
Mengapa aku harus ikhlas.... agar manfaatku bisa berbekas

Mengapa aku harus menghormatinya.... sebab itu jalurku menuju syurga
Mengapa aku harus merawatnya... karena kasih sayangku dibutuhkannya
Mengapa aku harus mencintainya.... karena cinta membuat hatiku-hatinya berdaun berbunga
Mengapa aku harus hanya menyembah-Nya... sebab Dialah Tuhan, Zat Maha Kuasa

Mengapa aku tak boleh kecewa... boleh saja selama kecewaku berbuah taqwa
Mengapa aku tak boleh berduka... boleh saja selama dukaku memurnikan cinta
Mengapa aku tak boleh menguasai dunia....boleh saja jika aku sudah kuasai diri di jiwa
Mengapa aku tak boleh tebar pesona.... sebab segala pesona adalah milik Allah semata

Mengapa aku tak boleh mengeluh... karena keluhan membuatku rapuh
Mengapa aku tak boleh angkuh..... karena yang fana tak mungkin utuh
Mengapa aku tak boleh berlabuh.... sebab dunia saatnya melepas peluh
Mengapa aku tak boleh selingkuh.... mau dimana wajahku ditaruh

Antara Halal & Haram Ada Syubhat

Dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وإنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ ، وبَينَهُما أُمُورٌ مُشتَبهاتٌ ، لا يَعْلَمُهنّ كثيرٌ مِن النَّاسِ ، فَمَن اتَّقى الشُّبهاتِ استبرأ لِدينِهِ وعِرضِه ، ومَنْ وَقَعَ في الشُّبُهاتِ وَقَعَ في الحَرَامِ ، كالرَّاعي يَرعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أنْ يَرتَعَ فيهِ ، ألا وإنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى ، ألا وإنَّ حِمَى اللهِ محارِمُهُ ، ألا وإنَّ في الجَسَدِ مُضغَةً إذا صلَحَتْ صلَحَ الجَسَدُ كلُّه ، وإذَا فَسَدَت فسَدَ الجَسَدُ كلُّه ، ألا وهِيَ القَلبُ
“Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat), yang tidak diketahui oleh banyak manusia. Barangsiapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhat itu berarti dia terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan (binatang ternaknya) di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir dia akan masuk menggembalakan (binatang ternaknya) di daerah tersebut. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki daerah terlarang. Ketahuilah bahwa daerah terlarang milik Allah adalah perkara-perkara yang haram. Ketahuilah, bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka akan menjadi baik seluruh tubuh, dan jika buruk menjadi buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa itu adalah hati.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Jumat, 23 September 2011

Kisah Sabar Yang Paling Mengagumkan

Prof. Dr. Khalid al-Jubair penasehat spesialis bedah jantung dan urat nadi di rumah sakit al-Malik Khalid di Riyadh mengisahkan sebuah kisah pada sebuah seminar dengan tajuk Asbab Mansiah (Sebab-Sebab Yang Terlupakan). Mari sejenak kita merenung bersama, karena dalam kisah tersebut ada nasihat dan pelajaran yang sangat berharga bagi kita.
Sang dokter berkata:
Pada suatu hari -hari Selasa- aku melakukan operasi pada seorang anak berusia 2,5 tahun. Pada hari Rabu, anak tersebut berada di ruang ICU dalam keadaan segar dan sehat.
Pada hari Kamis pukul 11:15 -aku tidak melupakan waktu ini karena pentingnya kejadian tersebut- tiba-tiba salah seorang perawat mengabariku bahwa jantung dan pernafasan anak tersebut berhenti bekerja. Maka akupun pergi dengan cepat kepada anak tersebut, kemudian aku lakukan proses kejut jantung yang berlangsung selama 45 menit. Selama itu jantungnya tidak berfungsi, namun setelah itu Allah Subhanaahu wa Ta`ala menentukan agar jantungnya kembali berfungsi. Kamipun memuji Allah Subhanaahu wa Ta`ala .
Kemudian aku pergi untuk mengabarkan keadaannya kepada keluarganya, sebagaimana anda ketahui betapa sulit mengabarkan keadaan kepada keluarganya jika ternyata keadaannya buruk. Ini adalah hal tersulit yang harus dihadapi oleh seorang dokter. Akan tetapi ini adalah sebuah keharusan. Akupun bertanya tentang ayah si anak, tapi aku tidak mendapatinya. Aku hanya mendapati ibunya, lalu aku katakan kepadanya: "Penyebab berhentinya jantung putramu dari fungsinya adalah akibat pendarahan yang ada pada pangkal tenggorokan dan kami tidak mengetahui penyebabnya. Aku kira otaknya telah mati."

Taubat Seorang Ibu Ditangan Putrinya

Empat tahun yang silam salah seorang ahli ilmu yang bernama Syaikh Ali al-Hindi meriwayatkan kisah nyata berikut ini kepada Syaikh Abdurrahman al-Makki, seraya mengatakan:
Ada seorang ibu yang merasa geram terhadap putrinya karena ia tidak lagi seperti dulu dalam menghormati para tamu. Pekan ini, ia tidak menghormati tamu-tamu ibunya. Sang ibu merasa terheran-heran karena putrinya adalah seorang gadis yang multazimah, kuat beragama.